Selamat Datang di Suaraku dan Seperjuanganku


LCD Text Generator at TextSpace.net





Assalamu'alaikum Wr. Wb.

Selamat Datang di Suaraku dan Seperjuanganku. Inilah suara seorang titisan peniti titian cendikiawan muslim yang terpendam dalam kegelapan pusar yang dalam. Berharap perubahan. Menghasilkan kemajuan.

Disinilah suara sastra sang pengubah dijembatankan. Disinilah aku dan suara yang berseru meneriakkan pendaman yang tertumpuk dalam di palung yang termakan congkak dunia.

Walau terminoritas dan tertindas, kita bisa berubah, kita bisa berseru dalam gemuruh yang menjadi satu. Walau hanya gemerutu yang tertumpu, kita bisa berseru, bersatu, tanpa ragu maju dalam ideologi yang terpaku kuat dalam keinginan yang terisirat.

Selamat Membaca.

Wassalamu'alaikum Wr. Wb.








>NB : Mohon ma'lum atas kekurangan fasilitas karena gangguan teknis abadi. Kalau ada yang ingin memberikan komentar, masukan, saran, kesan, dan pesan harap kirim ke: adlan.hendarji71@gmail.com

Senin, 27 Oktober 2008

Bendera Setengah Tiang

Musuh. Mungkin itulah anggapan mereka terhadap kami. Tapi yang pasti kami musuh para hakim yang merasa berkuasa untuk memvonis benar tidaknya sebuah perkara. Mungkin kami memang musuh. Tapi bukan musuh para aparat meskipun harus sering berhadapan dengan mereka. Juga bukan musuh anggota dewan walaupun gedung itu terlalu sering kita satroni. Pun, kami bukan musuh seorang presiden meski namanya sering tertulis di poster-poster yang kami usung. Musuh kami adalah setiap kedzoliman. Lawan kami adalah tirani. Pemberontakan kami hanya tertuju pada semua ketidakadilan. Siapapun pelakunya!!
Wajah-wajah itu terlihat semakin tegang di bawah sengatan terik matahari. Muka hitam mereka berlipat dibalik helm besar. Mata mereka menyipit tajam, menahan silau matahari yang menerobos kaca gelap helm. Sebuah pentungan kayu tergenggam erat di tangan kanan dan perisai di tangan kiri. Beberapa kawat berduri tak kalah rapi berbaris di sebelah kiri mereka. Kawat itu siap menyambut siapa saja yang berani menerobosnya. Di tempat yang agak jauh tampak gas air mata dan water canon memperlengkap ketegangan. Sungguh sebuah pasukan yang terlalu lengkap untuk sekedar menghadapi musuh yang berjumlah tujuh puluhan mahasiswa tanpa senjata.

Seorang mahasiswa muncul dari ujung kanan barisan. Saat langkahnya berhenti tepat di depanku, barulah aku mengenalinya sebagai Sandy, ketua BEM universitasku. Sebuah megaphone tersangkut lunglai di pundak kirinya. Matanya mengecil mencermati barisan dari ujung kiri ke ujung kanan. Topi yang menutupi sebagian rambutnya tak mampu menghalau cahaya matahari yang menyipitkan mata.

“Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakaatuh!“ Suaranya tenang, memecah bising kendaraan yang lalu lalang di sekitar barisan.
“Sebelumnya kami mohon maaf kepada pengguna jalan, karena mungkin keberadaan kami mengganggu aktivitas bapak ibu sekalian. Tapi yakinlah, insyaallah keberadaan kami di sini juga dalam rangka memperjuangkan nasib bapak-ibu sekalian.“
“Hidup mahasiswa!“
“Hidup mahasiswa!“
“Allahuakbar!“
“Allahakbar!“
Tangan-tangan mengepal, membangun semangat agar tak luruh bersama tetesan peluh.
“Bapak-bapak polisi yang terhormat, kami sadar bahwa Bapak hanya melaksanakan tugas untuk menjaga ketenangan dan keamanan. Begitupun kami di sini. Kami sedang mengemban sebuah tugas besar. Sebuah kewajiban yang tidak bisa ditinggalkan. Telah mejadi kewajiban kami untuk mengingatkan bapak-bapak yang duduk di kursi panas kantor dewan agar mereka bekerja seperti yang diamanatkan rakyat. Bukankah demikian saudara-saudar?!“
“Betuu…ul!!..“
“Tapi apa yang kita lihat? Ternyata BBM terus menanjak! Koruptor masih berkeliaran dengan tenang! Bencana terus mendera. Kapan negri ini tenang? Kapan negri kita yang kaya ini makmur? Kapan rakyat dapat sekolah dengan nyaman? Kapan kita bebas dari cengkraman hutang?“
“Hidup mahasiswa! Hidup mahasiswa!“
“Allahuakbar!!“
“Allahuakbar!!“
Tangan-tangan kembali terangkat. Mengepal ke udara. Bendera-bendera berkibar. Panas matahari kian merekah. Angin berhembus, menyambut bahana takbir yang menggema.
“Bapak-bapak yang terhormat, kami adalah anak negri yang cinta damai. Kami adalah generasi bangsa yang cinta tanah air. Tapi kami lebih mencintai keadilan. Kami lebih mencintai saudara-saudara kami yang kelaparan. Anak-anak yang terlantar. Maka ijinkan kami mengadukan nasib mereka ke bapak-bapak yang ada dalam gedung dewan!”
“Bagaimana saudara-saudara?! Apakah kita siap memasuki rumah rakyat ini?!”
“Siaa..aap!!” Pandangan Sandy beralih ke barisan polisi yang setia mengawasi semua tingkah polah kami. Dengan sopan Sandy mengarahkan megaphone ke arah deretan bapak-bapak yang berseragam cokelat.
“Bagaimana, Bapak-bapak polisi? Apakah kami diijinkan masuk ke gedung ini?“ Tak ada jawaban. Hanya tatap mata mereka dari balik helm hitam mereka.
“Baiklah, kita beri kesempatan kepada bapak-bapak polisi untuk berpikir. Sambil menunggu teman-teman kita bernegosiasi, mari kita lantunkan mars perjuangan kita.“
Sambil bernasyid sesekali kami melompat-lompat untuk melakukan pemanasan. Tak peduli suara pecah kami yang terdengar. Kami memang tidak sedang konser nasyid. Karena kami bernasyid untuk menumbuhkan gelora semangat agar mengalir di setiap nadi kami. Di sela-sela bernasyid, kucoba melirik jam yang melingkar longgar di pergelangan tangan kananku. Hampir jam 11. Tepatnya 10.50. Sepertinya agenda aksi molor dari rencana semula. Kulemparkan pandanganku pada gerombolan mahasiswa yang bernegosisasi dengan beberapa aparat. Wajah-wajah mereka sangat serius. Sesekali Mata Sandy bertemu dengan salah seorang dari mereka.
Tanpa sadar, acara bernasyid telah selesai. Dan konsentrasiku kembali terpusat pada Sandy yang telah siap dengan megaphonenya. Panas. Peluh-peluh mengalir teratur. Tetes demi tetes, menanti kepastian dari pimpinan aparat berseragam coklat.
“Baiklah, teman-teman, sejenak kita dengarkan sebuah puisi dari saudara Rahman.“ Seorang mahasiswa menerobos maju dari tengah-tengah barisan. Sebuah ikat kepala terikat rapi menutupi sebagian rambut di keningnya. Tangan kanannya menerima megaphone dari Sandy. Setelah megaphone terpasang, tangan kirinya merogoh saku alamaternya. Sebuah kertas yang telah terlipat kusut terangkat. Dengan tangan agak tergetar, ia pun memulai puisinya.
“Sebuah Cerita dari Negri Harapan“
Hening. Semua mata, termasuk para aparat tertuju pada Rahman. Rahman pun melanjutkan puisinya.
Kudengar negri itu begitu kaya
Kudengar, tanah itu sangatlah suburnya
Kudengar jamrud itu amatlah eloknya
Kudengar gemericik air dengan jernihnya
Kudengar kicau burung nan riang dari langitnya
Sungguh, negri dengan sejuta pesona
Hamparan tanah dengan timbunan harta
Bangsa yang terkenal ramah bretatakrama
Sungguh, persada yang menjadi surga dunia
Tapi sayang…..
Apa yang kulihat tak seindah yang kudengar
Apa yang kusaksikan tak seindah khayalan
Telingaku tuli mendadak tanpa bisa mendengar
Lidahku kelu tanpa bisa merasa
Jantungku terhenyak tanpa detak
Hanya mata….
Hanya mata yang terbuka
Terpana ……….
Menyaksikan derai air mata di negri katulistiwa
Menyaksikan kobaran api kekuasaan di sela gemericik air sejuknya
Menyaksikan burung-burung sekarat kelaparan di ranting-ranting rindangnya
Menyaksikan ceceran darah jelata di mulut pongah penguasa
Inikah negri harapan itu?
Inikah surga dunia itu?
Ooo… Tuhan
Aku luruh, bersimpuh dalam rapuh
Ooo.. Tuhan
Aku akan berteriak dalam kebisuan
Dengan jutaan selaksa harapan
Dengan tangan-tangan yang terus terkepalkan
Dengan segenggam keyakinan
Bahwa semua akan berakhir dengan kemenangan
Allahuakbar! Allahuakbar! Allahuakbar!

Rahman melipat kembali kertasnya dan memasukkan ke saku almamaternya. Ia melangkah ke tengah-tengah barisan setelah menyerahkan megaphone ke Sandy.
“Komando saya ambil alih kembali.“ Mata Sandy memastikan bahwa semua masih dalam kondisi terkendali. Sebuah kode kutangkap saat mata Sandy saat matanya bersiborok dengan beberapa mahasiswa yang baru menyelesaikan negoisasi.
“Alhamdulillah, sepertinya bapak-bapak polisi yang kita cintai memperkenankan kita masuk ke gedung dewan tepat jam 11.30“ Sekilas mata Sandy melirik lagi ke gerombolan negosiator. Tak lama kemudian, enam orang mahasiswa dengan tiga almamater berbeda melintas di depanku dan bergabung dengan barisan.
Sambil menunggu waktu, beberapa mahasiswa melakukan orasi bergantian. Jam di tanganku serasa berjalan lambat. Menunggu detik-detik ke angka 11.30.
“Allahuakbar!“ Telunjuk Sandy terangkat bersama takbirnya. Tepat jam 11.30.
“Allahuakbar!“ Kami pun menyambut takbir Sandy dengan merapatkan barisan. Tangan-tangan saling bergandengan. Siap-siap menyambut komando berikutnya. Beberapa polisi tampak berbisik-bisik dengan tatapan curiga.
Perwakilan mahasiswa telah berada di depan pagar masuk. Beberapa orang tampak sibuk membuka pitu pagar gedung yang terkunci.
“Allahuakbar!!“ Kali ini tangan Sandy terkepal. Dan itu berarti kami harus bergerak cepat menyusul teman-teman kami yang hampir masuk ke gedung.
Situasi langsung berubah. Aparat segera bergerak cepat. Barisan kami tepat di belakang para negosiator. Beberapa polisi berteriak agar kami mundur.
“Mundur!! Semua mundur!“
“Siapa yang mengijinkan kalian masuk??!!!“ Sepasang mata garang menghadang di depan barisan. Tampangnya bersungut. Helaan nafas sengalnya terdengar jelas.
Barisan terhenti sejenak. Sandy mencoba mencoba mengendalikan suasana. Barisan polisi pun tak kalah kaget. Beberapa orang polisi saling berbisik satu sama lain. Semua waspada.
“Saudara-saudara sekalian, kita tenang sebentar. Jangan terprovokasi oleh siapapun! Ingat hanya ada satu komando!“ Sandy mondar-mandir di depan barisan. “Barisan rapikan kembali! Ayo rapikan! Kita ke sini untuk menyampaikan isi hati dan jeritan rakyat. Kita datang tidak untuk mencari musuh! Kita juga tidak suka dengan segala bentuk anarkisme!“
“Sepakat!“
“Sepakat!“
Seorang mahasiswa maju menerima megaphone dari Sandy.
“Saudara-saudara sekalian. Saya hanya ingin menyampaikan hasil negosiasi kita dengan bapak-bapak aparat yang terhormat. Bahwa dari negosiasi tadi kita diijinkan masuk jam 11.30. Tapi entah alasan apa, ketika kita masuk ternyata dilarang.”
“Huu…..uuu!!!”
“Polisi payah!”
“Penipu!”
“Pembohong!”
Panas. Matahri semakin terik. Bau keringat semakin tengik.
“Masuk! Masuk! Masuk!“ Teriak kami kompak menyaingi sumpah serapah para polisi.
“Tenang!! Semua tenang!!” Sandy berteriak keras. Seorang mahasiswa tampak mendekat dan berbisik di telinga Sandy.
“Saudara-saudara, apakah kita rela kalau di bohongi??!!”
“Tidaa….ak!”
“Apakah kita mau di tipu lagi??!”
“Tidaa….ak!”
“Kalau bapak-bapak kita sudah berani membohongi kita, mereka akan pasti lebih berani membohongi rakyat. Betu….ul?!“
“Betuu….ul!“
Seorang polisi tampak tersinggung. Tangannya mengangkat pentungan. Namun polisis lain mencoba menahan.
“Gedung ini milik siapa?“
“Rakyat!“
“Dan kita siapa?“
“Rakyat!“
“Tiga langkah ke depan, jalan!“
Barisan bergerak kompak.
“Satu. Dua. Tiga!“
Jarak barisan dengan polisi tinggal 2 meter. Beberapa polisi kembali waspada. Ada yang mermas-remas tangan, ada yang semakin erat memegang tameng dan pentungan.
“Maju satu langkah!“
“Satu!“
“Mundur dua langkah!“
“Satu! Dua!“
“Tiga langkah ke depan!“
“Satu! Dua! Tiga.“
Jarak kami dengan polisi semakin dekat. Wajah-wajah lelah pun semakin jelas terlihat.
“Tiada kata lagi…“
“Kami takkan kembalii..“
“Tiada kata lagi…“
“Kami takkan kembalii..“
“Mundur! Mundur!“ Teriak seoarang polisi yang tepat di depan pagar masuk.
“Bagaimana teman-teman?!“ Sandy berteriak dengan serak.
“Masuk! Masuk!“
“Maju dua langkah!“
“Satu! Dua!“
Jarak kami dengan barisan polisi hanya dua langkah. Kami semakin waspada. Barisan di seberang kami juga semakin siaga. Tangan-tangan kami semakin erat berpegangan. Lantunan dzikir terus kami kumandangkan.
“Satu langkah ke depan!“
Kaki kami hampir melangkah, namun gelombang barisan di depan menghambur dan mendorong barisan kami. Aksi saling dorong tak dapat dihindari. Aku terjepit di antara tubuh berat aparat. Tangan-tangan kekar itu mencoba mencerai-beraikan barisan. Dengan pentungan, dengan tameng, dengan sumpah dan umpatan. Beberapa mahasiswa terkena pentungan. Jeritan takbir dan makian kasar menyatu di udara.
Sekelompok mahasiswa berhasil mendekati pagar. Mereka berjuang untuk membuka pagar masuk ke gedung dewan. Sementara aku dan teman-teman sibuk mempertahankan barisan.
“Cepat masuk!“
Rupanya pagar telah terbuka. Tepat di tengah-tengah pagar, beberapa mahasiswa berhenti dan siap menanggung resiko terberat, termasuk jika harus terjepit pagar.
Sebuah sirine memaksa para polisi menghentikan pekerjaannya.
„“Berhenti! Tenang! Tenang!“ Sebuah komando dari seorang polisis berpangkat…….. Beberapa orang polisi yang baru datang, menarik tangan rekannya agar tidak lagi memukuli mahasiswa.
“Biarkan mahasiswa masuk!“
“Allahuakbar! Allahuakbar!“ Takbir langsung menggema menyambut komando dari si ……….
Dengan sedikit alot akhirnya barisan kami dapat masuk. Beberapa mata polisi masih tak dapat menyembunyikan kekesalannya. Gelombang barisan mahasiswa segera menerobos pagar menuju halaman gedung.
“Terimaksih, bapak-bapak yang kami cintai. Akhirnya kami diijinkan masuk ke halaman ini.“ Dika menggantikan Sandy yang telah kehabisan suara.
“Kami berjanji tidak akan merusak apapun! Bahkan bunga-bunga dan tumbuhan lain di gedung ini tidak akan kami sakiti. Sepakat teman-teman?!“
“Sepakat!“
“Baiklah. Sesuai dengan rencana semula kali ini kita mengharap pimpinan Dewann yang terhormat bersedia menemui kami. Kami ke sini hanya ingin menuntut sebuah keadilan. Kami datang hanya ingin mendapatkan kebenaran. Mengapa di tanah subur ini masih banyak yang kelaparan? Mengapa di negri yang kaya ini masih banyak kemiskinan? Mengapa di tanah yang hasil buminya melimpah semua harus mahal? Tapi mengapa masih ada yang bebas berkeliaran keluar negri? Juga masih ada yang tega melakukan korupsi?“
“Allahuakbar!“
“Allahuakbar!“
“Apa mereka tak melihat rakyat yang dilanda bencana bergantian? Yang tak punya rumah? Tak punya harta, juga saudara. Di mana nurani mereka? Ke mana hati mereka?“
Dika melihat jam tangannya, kemudian pandangannya menyebar ke sekeliling.
“Baiklah kawan-kawan. Karena hari semakin siang dan pimpinan yang kita tunggu belum menunjukkan tanda-tanda kedatangannya. Sesuai agenda kita acara ini kita akhiri dengan teaterikal sebelum ditutup dengan do’a.“
Aku melihat sekeliling, mencari beberapa orang. Segera aku maju dan diikuti tiga orang yang lain. Sebuah keranda yang dibungkus kain hitam kami letakkan tepat di bawah tiang bendera. Aku maju menuju tiang bendera. Segera aku membuka ikatan tali pengerek. Setelah itu aku menengadah, melihat merah putih yang berkibar ditiup angin. Seorang mahasiswa emabntuku dengan memegangi satu tali yang lain. Aku mulai menarik turun bendera itu. Ya,, aku harus menariknya ke bawah, sampai setengah tiang. Perlahan, kibaran kain itu semakin dekat ke bawah. Namun tanganku langsung terhenti ketika suara keributan terdengar.
“Hentikan sekarang juga1“
Sebuah suara berat membuatku begidik.
“Lanjutkan, Han!“ Suara lain menyemangatiku.
“Saya perintahkan berhenti!“ Aku melirik ke sumber suara. Seorang berbadan tegap menatap tajam. Sementara beberapa mahasiswa tampak berdialog dengannya.
“Turun! Turun!“ Teriak teman-teman yang lain tak mau kalah.
Beberapa polisi yang mengzawasi kami tampakk tersenyum penuh kemenangan.
Kulihat sekali lagi bendera yang tak lagi berada di ujung tiang. Hampir aku menariknya,, tapi kurasakan sebuah benda menempel di punggungku. Dan teriakan takbir kembali menyatu denngan makian dan umpatan.


Karya : Retno Wi